Hukum
Direktur LBH ICMI: Dari Fenomena Putusan MK Saat ini, Sudah Waktunya kita Tata Kembali Kekuasaan Kehakiman

BISNISREVIEW.COM – Lembaga Bantuan Hukum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (LBH ICMI) meminta agar kusutnya putusan lembaga peradilan saat ini dijadikan momentum untuk menata kembali kekuasaan kehakiman, ternyata Produk beberapa kali Amandemen UUD 1945 pasca reformasi menimbulkan masalah baru dalam dunia peradilan dan penegakan hukum di republik ini.
Direktur LBH ICMI, Dr. Yulianto Syahyu, SH., MH. menegaskan, Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu elemen penting dalam struktur ketatanegaraan suatu negara. Menurut Syahyu, kekuasaan kehakiman menjadi pilar penting tentang bagaimana negara hukum bekerja, sudah saatnya ditata kembali dan kita kembali mengkaji ke pangkal tentang Lembaga tinggi disetiap bidangnya baiknya hanya satu, Eksekutif oleh Lembaga Kepresidenan, Legislatif oleh DPR dan dan Yudikatif oleh Mahkamah Agung.
Semua kita sudah paham struktur di atas hanya saja lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK) dari amandemen UUD 1945 yang putusannya final dan Binding menempatkannya juga MK sebagai lembaga tinggi negara di bidang yudikatif, halmana tanpa proses peradilan berjenjang, putusannya final dan binding, ini malahan melebihi dari MA karena meskipun putusannya final tapi melalui proses berjenjang, sehingga Kalau demikian putusan MK dapat disamakan dengan putusan Tuhan yang absolut dan tidak bisa diuji secara hukum.
Baca Juga: Advokat Nilai Anwar Usman Halangi Pembentukan MKMK Permanen dalam Sidang Dugaan Pelanggaran Etik
Mungkin banyak kasus yg kusutnya sudah terlewatkan tapi putusan tentang batas usia capres dan/atau wapres kemaren sebagai klimak dan mungkin momennya untuk menata kembali kekuasaan kehakiman.
“Karena jika kinerja kekuasaan kehakiman itu buruk, maka akan berimplikasi bagi buruknya suatu negara hukum”, kata Syahyu dalam keterangannya, dikutip Bisnisreview.com, Minggu (12/11/2023).
Kita setuju MK tetap dipertahankan, hanya saja putusannya dapat diuji melalui MA sebagai lembaga tinggi di bidang yudikatif, misalnya melalui upaya hukum kasasi. Hal tersebut wajar saja karena yg diuji di MK adalah Undang Undang terhadap Konstitusi, bukan Konstitusinya, Klo amandemen konstitusi ke MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Timbulnya persoalan perkara No. 90 di MK dan tersanderanya putusan etik MKMK karena putusan MK yang bersifat final dan binding, sehingga meskipun proses pemutusannya dinilai cacat dan hakimnya dinyatakan melakukan pelanggaran mode etik berat tapi produk putusan hukumnya tetap jalan dan tidak bisa diganggu gugat. Dengan tidak bermaksud mencampuri putusan MKMK, cuma sedikit pemikiran sekiranya ending putusan MKMK hanya untuk memberhentikan Hakim Terlapor dari ketua MK maka pertimbangan hukum cukup yang bersangkutan melakukan pelanggaran sedang terhadap kode etik, jika pertimbangan hukum pelanggaran berat terhadap kode etik seyognya yang bersangkutan dikenakan sanksi berat yaitu diberhentikan dengan tidak hormat dari Hakim Konstitusi, jadi di sini hanya masalah linearisasi suatu pertimbangan hukum dengan putusannya.
Syahyu mengatakan, jika kekuasaan kehakiman tersebut tidak segera ditata kembali maka tidak tertutup kemungkinan kekuasaan kehakiman tersebut akan dimanfaatkan oleh kukuasaan lain untuk mempertahankan kekuasaannya.
Baca Juga: Indikator: Elektabilitas Capres Prabowo Lebih Unggul dari Anies dan Ganjar
“Implikasi dari kekuasaan yang tiran akan mengancam kehidupan dan kebebasan warga negara, dan dalam konteks judicial power, kekuasaan yang tiran akan mengancam independensi badan badan kehakiman,” paparnya, bahkan termasuk juga bidang legislatif akan disandera dan/atau tersandera
“Kekuasaan yudikatif sebagai penegak hukum dan rumah bagi keadilan, Sebuah prasyarat yang absolut bagi keberhasilan sebuah bangsa adalah adanya kekuasaan yudikatif yang kuat, bebas, mandiri, dan tidak memihak. Kekuasaan yudikatif yang powerfull akan dapat meredam praktek penyalahgunaaan kekuasaan,” Pungkasnya.
Lebih lanjut, Praktisi Hukum dan Akademisi ini mengatakan, Kekuasaan kehakiman senantiasa ditegaskan sebagai kekuasaan yang terpisah dengan lembaga kekuasaan lainnya dan merupakan kekuasaan yang merdeka. Kekuasaan kehakiman dalam suatu negara harus dapat dijamin independensinya, salah satu jaminan yang fundamental melalui pengaturannya dalam konstitusi.
“Fenomena penegakan hukum dan keadilan di negara kita akhir-akhir ini, apakah sekaligus momentum bangsa ini kembali ke UUD 1945 yang asli dengan sedikit revisi pembatasan masa jabatan Presiden, tapi ingat bukan untuk dimanfaatkan menunda Pemilu dan mempertahankan kekuasaan, demikian pungkas Syahyu Sang Direktur in.(BR/Arum)
