Hukum
Dinilai Merusak Tatanan Hukum, “Advokat Minta Pengesahan RUU Perampasan Aset Disetop”

BISNISREVIEW.COM – Rancangan Undang-undang (RUU) Tentaang Perampasan Aset saat ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023 sebagai bagian dari usulan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah akan menyerahkan RUU Perampasan Aset ke DPR sebagai bentuk dari penyelesaian tugas pemerintah dalam menyusun RUU tersebut.
Namun RUU ini masih menjadi polemik di kalangan publik. Ada sebagian publik yang menolak RUU tersebut disahkan, ada pula yang menginginkan untuk segera disahkan.
Advokat Nasional Andi Syamsul Bahri, SH menilai, jika Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset disahkan, maka akan menimbulkan kerugian pada masyarakat. Hal ini, tambah dia, akan terjadi kerusakan tatanan hukum.
“Untuk itu, saya minta agar segera dihentikan pengesahan RUU Perampasan Aset, sebab akan merusakan tatanan hukum. Kalau tidak dihentikan, maka akan timbul suatu kekuatan yang dapat merusak sistem hukum dan pelanggaran Hak Azasi Manusia atau HAM,” tegas Syamsul dalam keterangan tertulisnya, diterima Bisnisreview.com, Kamis (20/4/2023).
Menurut Syamsul, jika RUU ini disahkan, itu arinya negara telah memberi kewenangan untuk merampas hak milik seseorang tanpa melalui proses yang adil yang seharusnya dilalui yaitu proses peradilan.
Perampasan hak milik warga negara haruslah berlandaskan hukum yang mana dalam UUD 1945 hak kepemilkan diakui dan terlindungi pasal 28 H ayat 4 yang berbunyi: ” setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun”.
“Jika RUU ini disahkan maka negara diberi legitimasi untuk merampas hak milik seseorang tanpa adanya putusan peradilan tapi berdasarkan penafsiran hukum oleh penguasa yang dilabeli kekuasaan negara,” pungkasnya.
“Pemberian kekuasaan untuk merampas aset Warga Negara tanpa proses Peradilan, ini merupakan sebuah kejahatan dengan dalih hukum, karena kekuasaan perampasan dapat dipakai alat oleh rezim yang berkuasa untuk mengambil alih harta rakyatnya secara sewenang-wenang,” sambungnya.
Lebih lanjut, Syamsul mengatakan, kewenangan penguasa adalah tafsir mutlak tanpa adanya pertimbangan hukum rasa keadilan. Karena kekuasaan selalu menggunakan Pembenaran, bukan Kebenaran.
“Kehadiran RUU ini dapat merubah adagium hukum, setiap kegiatan warga negara (WN) adalah illegal atau setiap perolehan harta WN dicurigai dan belum memenuhi syarat sah. Negara dengan asumsi perolehan harta WN tidak sah dapat dirampas terkecuali adanya putusan peradilan yang menyatakan bukan perolehan ilegal,” papar Syamsul.
Kekuasaan yang diberikan oleh UU perampasan aset negara merupakan kewenangan yang diberikan kepada penguasa untuk bertindak atas nama negara, tetapi bahasa halusnya penguasa diberi kekuasaan untuk merampok harta rakyatnya tanpa adanya proses Peradilan yang adil.
“Setiap Rezim yang berkuasa dapat memakai alat ini untuk menghancurkan karier politik lawan politiknya atau pengkritik kebijakan pemerintah.
Ironisnya bangsa Indonesia harta WN Indonesia dapat dirampas atas kemauan setiap penguasa,” tutupnya. (BR/Arum)
