Bisnis
Hadapi Turbulensi Inflasi Global, Investasi Portofolio Turut Beri Kontribusi Terhadap Pendapatan Primer

BISNISREVIEW.COM – Situs resmi Biro Statistik Amerika Serikat (AS) telah merilis inflasi; Consumer Price Index (CPI) secara year on year melesat 8,5%. Lebih tinggi dari forecast 8,4% dan lebih tinggi dari bulan lalu (7,9%). Mahalnya harga BBM dan produk pangan memantik terkereknya inflasi di negara tersebut.
Namun akhirnya terjebak juga dalam turbulensi serius. Mulai dari taper tantrum, dan sekarang turbulensi inflasi global, yang diperparah oleh krisis Rusia-Ukraina, Amerika Serikat, NATO, dan negara kawasan Eropa.
Pemerhati Hukum Ekonomi dari Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara (Ubhara) Jaya Dr. Yulianto Syahyu, SH, MH mengatakan bahwa Investasi portofolio juga turut memberikan kontribusi terhadap pendapatan primer.
“Arus modal keluar (capital outflow) menjadi faktor menyusutnya demand terhadap aset-aset keuangan berdenominasi rupiah. Demikian pun transfer remitansi berbasis valuta asing menjadi lebih besar akibat tekanan terhadap kurs rupiah. Likuiditas nasional menjadi terkoreksi,” jelas Syahyu dalam keterangan tertulisnya, diterima Bisnisreview, Jumat (21/4/2023).
Menurut Syahyu, dalam mengantisipasi turbulensi inflasi glabal tersebut, pemerintah Indonesia dari jauh hari sudah mengencangkan sabuk; ekonomi Indonesia diancang-ancang bergerak dari fase recovery menuju ekspansi. Di tengah mesin pertumbuhan ekonomi yang sedang dipacu.
“Jadi untuk menghadapi ancaman inflasi global, saya berharap agar pemerintah tidak tinggal diam tapi segera mengambil langkah strategis. Salah satunya adalah konsolidasi dan disiplin fiskal. Kita sangat membutuhkan dukungan likuiditas agar defisit APBN turun menjadi 3% terhadap PDB pada 2023 ini. Dengan harapan, pembiayaan defisit APBN menjadi lebih kecil,” pintanya.
Lebih lanjut, Praktisi Hukum Pasar Modal dan Akademisi Fakultas Hukum Ubhara Jaya menginginkan agar tahun 2023 ini tidak ada lagi bunga utang luar negeri yang lebih besar dibayar menggunakan APBN. “Seperti yang terjadi tahun 2022 lalu di mana beban bunga utang yang harus dibayar Rp 405,9 triliun. Meningkat 18,1% dari 2021 sebesar Rp 343,5 triliun. Pembayaran bunga utang 2021, lebih rendah dari pagu dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar Rp 373,3 triliun,” rinci Syahyu.
Apa bila, tambah Syahyu, pergerakan inflasi terus terkerek dan diikuti meningkatnya kebijakan suku bunga, maka beban bunga utang bisa lebih tinggi.
“Tingkat inflasi yang tinggi di negara-negara utama memungkinkan BI akan melakukan kebijakan responsif dengan menaikkan suku bunga kebijakan,” tandasnya.
Syahyu menandaskan, bila inflasi terus berlanjut, seiring krisis Rusia-Ukraina yang resonansinya kian meluas di negara-negara Eropa dan NATO, maka The Fed akan lebih agresif dalam kenaikan suku bunga kebijakan.
“Saya kira ini yang menjadi titik krusial kekhawatiran akan beban bunga utang luar negeri pemerintah di tengah rezim APBN defisit dan pembiayaan yang mengandalkan utang luar negeri (foreign debt),” terangnya.
Menurut Syahyu, hal ini yang menjadi khawatiran pemerintah terkait beban cicilan bunga utang akibat inflasi. “Kekhawatiran itu berdasarkan pada potensi membengkaknya pembiayaan defisit APBN dari sisi beban bunga utang luar negeri. Tekanan terhadap ruang fiskal membuat APBN tidak fleksibel untuk pendanaan program-program belanja produktif pemerintah,” paparnya.(BR/Arum)
