Bisnis
Sritex pailit bukan karena Permendag tapi Mismanagement Utang
BISNISREVIEW.COM — Gloria Angelita Tomasowa, Kepala Center for Entrepreneurship, Tourism, Information and Strategy (CENTRIS) Universitas Sahid menilai penyebab raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex pailit bukan karena adanya Permendag Nomor 8 Tahun 2024 yang baru berlaku lima bulan terakhir.
“Penyebab mereka [Sritex] pailit itu karena salah kelola utang. Itu sudah terjadi sejak tahun 2020. Mereka salah mengelola utang baru untuk mencicil utang lama. Kalau secara bisnis, mereka sebetulnya baik-baik saja. Order lancar jaya,” tuturnya.
Dalam wawancara di media pada (25/10), Ketua Umum IKATSI, Shobirin F. Hamid juga menegaskan bahwa kebangkrutan Sritex disebabkan oleh masalah manajemen internal dan bukan gambaran dari kondisi industri tekstil nasional secara makro.
Lebih lanjut Gloria mencatat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 baru berlaku pada 17 Mei 2024, artinya baru berjalan selama sekitar 5 (lima) bulan, sehingga Permendag tersebut tidak terkait dengan permasalahan yang dihadapi industri tekstil yang sudah terjadi sejak beberapa tahun sebelumnya.
“Penerbitan Permendag adalah revisi Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor guna penyelesaian kendala perizinan impor dan penumpukan kontainer di pelabuhan utama seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak,” tuturnya.
Jika diteliti ketentuan impor komoditi Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dan Barang Tekstil Sudah Jadi Lainnya dalam Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan ketentuan impor dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023.
“Di situ terlihat, untuk impor TPT dan Barang Tekstil Sudah Jadi Lainnya diwajibkan memiliki instrumen berupa Persetujuan Impor (PI) dari Kementerian Perdagangan dengan persyaratan berupa pertimbangan teknis dari Kementerian Perindustrian,” lanjutnya.
Dengan melihat secara detail Permendag Nomor 8 Tahun 2024, justru aturan ini diberlakukan untuk mengatasi berbagai hambatan dalam proses impor dan mendukung kelancaran perdagangan di Indonesia.
Dengan kebijakan tersebut sebetulnya pemerintah berkomitmen untuk terus mendengar dan menanggapi masukan dari pelaku usaha demi menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Gloria menilai, pihak Sritex sebagai raksasa tekstil sebagai entitas terbuka di pasar modal dengan kode SRIL sebetulnya tidak jujur mengungkapkan ada masalah tata kelola keuangan mereka yang terjadi sejak 2020.
“Sritex sebetulnya tidak perlu mencari-cari kambing hitam terhadap persoalan yang disebabkan internal mereka. Justru harusnya pemilik Sritex duduk bersama pemerintah yang berkomitmen menyelamatkan industri padat karya tersebut.” Ungkap Gloria.(BR/Red)