Connect with us

Pertanian

Jaga Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan, Pakar: Indonesia Juga Perlu Melawan Alam

Dr Saptarining Wulan, pakar diversifikasi pangan dan juga Dosen Gastronomi Sekolah Tinggi Ekonomi Trisaksi (Foto Koran Jakarta)

BISNISREVIEW.COM – Setiap orang sudah pasti tahu bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar bagimanusia untuk mencukupi energi dalam beraktivitas. Pangan yang mengandung karbohidrat merupakan sumber makanan utama yang disebut makanan pokok.

Dr Saptarining Wulan, pakar diversifikasi pangan dan juga Dosen Gastronomi Sekolah Tinggi Ekonomi Trisaksi mengatakan bahwa pangan itu sangat vital, menyangkut ketahanan nasional.
Urusan perut, apabila kita lapar, itu sangat sensitif dan mudah untuk terpancing kerusuhan.

“Makanya, untuk menjaga keamanan nasional, maka kondisi masyarakat tidak boleh ada kelaparan. Masyarakat harus terpenuhi terutama makanan pokoknya, perutnya harus kenyang supaya tidak mudah terpancing kerusuhan,” kata Saptarining yang diwawancarai Koran Jakarta, dikutip Bisnisreview.com, Senin (6/2/2023).

Ketika ditanya perbedaan antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan, Saptarining mengatakan, bahwa memang ada perbedaan antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan.

“Meskipun sama-sama tujuannya yaitu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri, namun untuk ketahanan pangan dalam mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri, produk komoditas pangannya dapat dicukupi berasal dari dalam negeri dan luar negeri (impor). Nah, untuk kedaulatan
pangan, pemenuhan kebutuhan
pangan berasal dari produk komoditas dalam negeri saja, tidak ada impor,” jelas Saptarining.

Selain ketahanan pangan dan kedaulatan pangan, Saptarining juga diminta penjelasan soal pembangunan pertanian melawan alam.

Ia menjelaskan, sampai saat
ini, makanan pokok kita mayoritas
masih sangat tergantung dengan
padi. Padi adalah salah satu jenis tanaman high grass yang tumbuh subur di vegetasi prairi, monokultur. Padahal, vegetasi alam kita adalah huta hujan tropis, polikultur.

“Nah, kita ubah vegetasi alam kita dari hutan hujan tropis (polikultur) ke prairi (high grass, monokultur),” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menjelas bahwa kondisi pertanian melawan alam seperti yang sudah dialami petani Indonesia saat ini. Kita membutuhkan banyak
pupuk untuk persawahan padi,
pestisida, herbisida, bibit unggul.
Muncul berbagai hama dan penyakit tanaman padi.

“Belum lagi kalau di musim kemarau akan terjadi kekeringan, begitu pula pada musim penghujan akan terjadi banjir. Sehingga sering kali mengakibatkan gagal panen karena kekeringan dan banjir, serta karena hama dan penyakit tanaman padi. Hal ini terjadi karena kita melawan alam.
Ditambah lagi dengan kondisi perubahan iklim yang terus berlanjut,” tandasnya.

Soal vegetasi hutan hujan tropis Indonesia, menurut Saptarining, kondisi vegetasi hutan tropis di Indonesia, dengan akar-akar pohon yang kuat, serta tutupankanopi dari pohon sangat berfungsi dengan dua musim di Indonesia.

“Apabila musim penghujan, akar-akar pohon di vegetasi hutan hujan
tropis akan menyerap dan menahan air di dalam tanah sehingga tidak menimbulkan banjir dan tanah longsor, dan apabila musim kemarau, vegetasi hutan hujan tropis tersebut akan mengeluarkan air sedikit demi sedikit untuk kepentingan makhluk hidup di sekitarnya,” paparnya.

“Inilah anugerah Allah Yang Maha Kuasa untuk kemakmuran bangsa Indonesia. Tapi karena kita mengubah alam, dari vegetasi hutan hujan tropis ke persawahan monokultur maka akar-akar tanaman padi tidak mampu menahan air hujan di waktu musim hujan dan mengeluarkan air di saat musim kemarau seperti fungsi vegetasi hutan hujan tropis, karena akar-akar padi adalah akar serabut pendek yang tidak mampu untuk menahan dan menyimpan air hujan dalam jumlah besar,” sambungnya.

Baca Juga: https://bisnisreview.com/ikn-sangat-berpeluang-untuk-berinvestasi-ekonom-ini-kesempatan-bagi-para-investor/

Pada zaman nenek moyang kita,
diversifikasi pangan sudah berjalan
sesuai dengan kekayaan alam yang
tumbuh disekitarnya. Sebagai contoh, di Gunung Kidul, Jawa Tengah, tumbuh subur tanaman singkong, maka makanan pokok mereka pada umumnya adalah singkong yang diolah menjadi gaplek dan dibuat menjadi tiwul sebagai sumber karbohidrat untuk makanan pokok mereka.

Kemudian di wilayah Indonesia Bagian Timur, banyak dijumpai pohon sagu di hutan, maka makanan pokok mereka adalah sagu diolah menjadi papeda,
kapurung, sinoli, dan onyop. Di
Papua pegunungan, tumbuh subur
aneka umbi-imbian, maka makanan pokok mereka adalah umbiumbian yang mereka peroleh dari dalam hutan yang subur.

“Kita memiliki sekitar 77 jenis tanaman sumber peroleh dari hutan yang subur. Begitu pula di Nusa Tenggara Timur (NTT), banyak tumbuh sorghum, maka masyarkaat di sekitar sudah terbiasa konsumsi beras sorghum, atau olahan dari tepung sorghum,” terangnya.

Untuk memahami makan lokal kita lebih jauh lagi, Koperasi Tasmin Asia Galilea merancang sebuah program dengan nama Expo Sagu Internasional.

Inisiator Expo Sagu Internasional, Parlindungan Harahap atau yang akrab disapa Opung itu mengatakan, kegiatan ini dilaksanakan karena ingin memperkenalkan sagu sebagai makanan lokal pada pasar dunia.

“Nah, dari kegiatan ini kami akan memperkenalkan makanan lokal dari olahan sagu ke masyarakat Indonesia dan dunia Internasional, “sebut Opung.

Opung mengatakan, acara yang digagas tersebut sontak mendapatkan dukugan dari berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, parlemen dan lain sebagainya.

“Alhamdulillah, kegiatan ini banyak didukung berbagai pihak. Namun saya berharap agar panitia pelaksana tetap menjaga kerjasama dengan pihak-pihak yang sudah bersedia membantu. Semoga acara yang dijadwalkan bulan Juni 2023 mendatang bisa berjalan lancar dan sukses,” ujar Opung. (BR/Arum)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in Pertanian